“Tradisi 17-an Tetap Eksis di Berbagai Daerah Meski Ekonomi Sulit”

Semarak Tradisi Unik Sambut HUT RI ke-80 di Berbagai Penjuru Nusantara

Di balik hiruk-pikuk kehidupan kota yang kian modern, beberapa daerah masih setia melestarikan ragam tradisi unik untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-80. Bukan sekadar seremonial, perayaan ini menjadi wujud kebersamaan yang diwariskan turun-temurun, dari desa pesisir hingga pelosok pedalaman. Berbagai lomba dan festival khas pun digelar, melibatkan anak-anak hingga dewasa, menciptakan momen penuh makna.

Deretan Tradisi Menyambut 17-an di Berbagai Daerah

1. Panjat Pinang Kolosal di Ancol, Jakarta

Panjat pinang telah lama menjadi ikon perayaan HUT RI. Salah satu lokasi yang konsisten menggelarnya adalah Ancol Taman Impian. Menurut situs resmi Ancol, lomba ini telah berkembang menjadi ajang kolosal dengan ratusan batang pinang, ribuan peserta, dan hadiah menarik.

Tahun ini, perlombaan digelar di Pantai Beach Pool pada 17 Agustus 2025 pukul 13:00–15:30 WIB. Antusiasme peserta dan penonton selalu tinggi, terutama karena hadiah yang diperebutkan.

2. Pacu Kude Aceh: Balap Kuda Kebanggaan Gayo

Pacu Kude adalah tradisi masyarakat Gayo, Aceh, yang digelar selama seminggu. Pada HUT RI ke-80, ajang ini berlangsung dari 25–31 Agustus 2025 di Lapangan Pacuan Kuda HM Hasan Gayo, Aceh Tengah.

Sebagai olahraga rakyat, Pacu Kude hanya diadakan dua kali setahun: saat HUT RI dan HUT Kota Tangeon. Tradisi sejak 1850 ini menampilkan joki-joki terbaik dengan kuda sehari-hari mereka, mencerminkan kebanggaan budaya lokal.

3. Gebuk Bantal Kalimalang: Adu Keseimbangan di Atas Bambu

Sejak 1990-an, warga Kalimalang menggelar gebuk bantal—lomba unik di atas bambu yang melintang di Kali Cipinang Bali. Dua peserta saling berhadapan, berusaha menjatuhkan lawan ke sungai hanya dengan bantal.

Sistem eliminasi diterapkan hingga ditemukan juara terkuat. Tak hanya pria, perempuan juga turut serta, sementara sorak penonton menambah semangat kompetisi.

4. Barikan dan Tirakatan: Refleksi Kemerdekaan ala Jawa Timur

Masyarakat Malang dan Surabaya merayakan malam 16 Agustus dengan Barikan—ritual syukur dengan berkumpul di jalan kampung, membawa sajian untuk dinikmati bersama. Istilah “Barikan” konon berasal dari bahasa Arab (*barik* = berkah) atau Jawa Kuno (*baris*).

Sementara Tirakatan diisi dengan doa bersama, renungan jasa pahlawan, dan makan satu kampung. Kedua tradisi ini mengajarkan makna kemerdekaan melalui kebersamaan sederhana.

5. Lomba Sampan Layar Batam: Balap Perahu Warna-Warni

Sejak 1965, warga Batam menggelar lomba sampan layar di laut dengan perahu tradisional berhias warna cerah. Tahun ini, 35 peserta dari tiga kategori (*kolek 9, 7, dan 5*) berlomba sejak 8 Agustus.

Penonton memadati pantai atau bahkan menyaksikan dari perahu, menambah semarak kompetisi yang jadi hiburan tahunan.

6. Kapal Telok Abang Palembang: Telur Merah dalam Miniatur Kapal

Palembang punya Kapal Telok Abang—miniatur kapal dari kertas atau gabus berhias telur merah, dijual sebagai cenderamata HUT RI. Budayawan Vebri Al-Lintani menjelaskan, awalnya hanya telur merah bertusuk lidi, lalu berkembang jadi kapal gabus sejak 1970-an.

Kini bahan baku gabus semakin langka, tetapi filosofinya tetap kuat: merah lambang keberanian, putih berarti kesucian, dan kuning simbol kemakmuran. Pemberian kapal ini kepada anak-anak menjadi sarana menanamkan nasionalisme.

7. Obor Estafet Semarang: Simbol Perjuangan yang Tak Padam

Selama 30 tahun, warga Semarang menggelar Obor Estafet—lomba lari estafet membawa obor sebagai simbol semangat perjuangan yang terus menyala. Tradisi ini menggambarkan warisan nilai kemerdekaan dari generasi ke generasi.

8. Peresean Lombok: Uji Nyali dan Persaudaraan

Suku Sasak di Lombok mempertahankan Peresean, tradisi ekstrem berupa pertarungan dua lelaki menggunakan rotan dan perisai kulit kerbau. Meski berisiko cedera, adu ketangkasan ini sarat makna: menguji jiwa ksatria dan mempererat persaudaraan.

Dari pesisir hingga pegunungan, ragam tradisi ini membuktikan bahwa kemerdekaan dirayakan dengan cara unik, penuh makna, dan tetap memupuk kebersamaan.

Previous post “Mih Kocok Mang Dadeng: Nikmati Kelezatan Legendaris Sejak 1953 yang Bikin Ketagihan!”
Next post “Menelusuri Jejak Sejarah: Kisah Menarik Rumah Pengasingan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok”