
“8 Provinsi di RI dengan Angka Kelahiran Terendah, Bahkan Ada yang Jauh di Bawah Standar Ideal!”
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) mengungkapkan sejumlah wilayah di Indonesia yang memiliki tingkat kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) lebih rendah dari angka ideal 2,1. Angka ini dianggap sebagai batas minimal untuk memastikan regenerasi populasi berjalan seimbang. Jika TFR berada di bawah 2,1, pertumbuhan penduduk suatu daerah cenderung stagnan atau bahkan menurun.
Daerah dengan Tingkat Kelahiran Terendah
Beberapa provinsi yang tercatat memiliki TFR di bawah standar ideal meliputi:
– Sulawesi Utara (2,06)
– Bali (2,03)
– Jawa Tengah (2,03)
– Jawa Barat (2,03)
– Jawa Timur (1,98)
– Banten (1,98)
– Daerah Istimewa Yogyakarta (1,83)
– DKI Jakarta (1,82)
Menurut Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Deputi Pengendalian Kependudukan Kemendukbangga/BKKBN, beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Banten, Yogyakarta, dan Jakarta bahkan memiliki angka kelahiran di bawah 2. Pernyataan ini disampaikan dalam acara press briefing laporan *State of World Population (SWP) 2025* yang digelar oleh United Nations Population Fund (UNFPA) di Jakarta pada 3 Juli 2025.
Perbedaan Tren antara Perkotaan dan Pedesaan
Boni menjelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam tren kelahiran antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta mengalami penurunan TFR, sementara daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua masih memiliki angka kelahiran tinggi, bahkan melebihi 2,1.
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama rendahnya TFR di perkotaan. Biaya hidup yang tinggi, keterbatasan ruang tinggal, serta ketidakstabilan pekerjaan membuat pasangan muda lebih berhati-hati dalam merencanakan jumlah anak. “Di kota besar, memikirkan untuk memiliki dua anak saja sudah menjadi beban tersendiri,” tambah Boni.
Sementara itu, di daerah dengan TFR tinggi, masalah seperti akses informasi dan edukasi tentang keluarga berencana masih menjadi tantangan utama. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pemahaman dan fasilitas kesehatan reproduksi di berbagai wilayah Indonesia.