Kisah Wanita Lawan Kanker Payudara di Usia 25 Tahun

Jakarta –
Seorang perempuan muda berusia 25 tahun terpaksa menghadapi kenyataan mengejutkan: menopause dini. Kondisi ini muncul setelah dia didiagnosis menderita kanker payudara, penyakit yang biasanya menyerang wanita di usia lebih tua.

Menurut laporan *New York Post*, kisah ini berawal setahun lalu ketika Alexis sedang berbaring di tempat tidur di rumahnya. Saat menggaruk payudaranya, jemarinya tiba-tiba merasakan benjolan kecil namun keras di payudara kanannya. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai skenario—mulai dari kista, jaringan fibrosa, hingga kemungkinan terburuk: kanker. Kekhawatirannya semakin besar karena ada riwayat kanker dalam keluarganya—ayahnya meninggal karena kanker saluran empedu di usia 67 tahun.

Data dari *American Cancer Society* memprediksi, pada 2025, sekitar 316.950 wanita di AS akan didiagnosis kanker payudara. Namun, kasus pada wanita di bawah 45 tahun terbilang jarang, apalagi pada usia semuda Alexis yang kala itu baru 24 tahun.

Alexis sempat menunda pemeriksaan. Dia malah pergi berselancar ke Indonesia selama tiga minggu, mengejar ombak yang dikenalkan ayahnya sejak kecil. Saat berangkat, benjolan di payudaranya sebesar permen. Namun, sepulangnya, ukurannya sudah membesar seperti anggur.

Kekhawatiran pun memaksanya menjalani mamografi dan biopsi. Hasilnya datang melalui telepon, dengan permintaan agar dia segera menemui dokter keesokan harinya.

*”Saya hancur,”* ungkap Alexis. *”Bagaimana jika ini mematikan? Bagaimana jika tumbuh lebih cepat daripada kemoterapi bisa dimulai? Bagaimana dengan pekerjaanku? Apakah aku masih bisa punya anak nanti?”*

Keesokan harinya, ketakutannya terbukti. Benjolan itu adalah kanker payudara *triple-positive* stadium 1. Dua minggu kemudian, MRI menunjukkan kanker telah berkembang ke stadium 2.

Dokter memperingatkan bahwa kemoterapi bisa mengancam kesuburannya. Suntikan hormon pencegah kanker di masa depan juga berisiko memicu menopause dini. Alexis pun berkonsultasi dengan spesialis fertilitas dan memutuskan untuk membekukan sel telurnya. Prosedur ini membuatnya terbaring dua minggu karena nyeri perut hebat.

### Menjalani Kemoterapi

Alexis menjalani enam sesi kemoterapi. Untuk meminimalkan kerontokan rambut, dia mencoba *cold capping*—perawatan yang mendinginkan kulit kepala untuk mengurangi kerusakan folikel rambut. Namun, metode ini menimbulkan efek samping: sakit kepala, menggigil, pusing, dan nyeri di kulit kepala.

*”Sulit melihat teman-teman seusiaku bersenang-senang, sementara hidupku seolah berhenti,”* katanya.

Setelah kemoterapi, ukuran tumornya menyusut drastis. Namun, tantangan belum berakhir. Alexis harus melalui serangkaian operasi besar: pengangkatan tumor, mastektomi, dan rekonstruksi payudara.

*”Saya sadar, ini harus kulakukan untuk diriku sendiri. Bukan untuk anak yang bahkan belum kumiliki,”* ujarnya.

Selama setahun ke depan, Alexis akan menerima terapi hormon untuk mengurangi risiko kekambuhan. Selama sepuluh tahun berikutnya, dia harus minum pil KB setiap hari untuk menghentikan produksi estrogen oleh ovarium—langkah yang juga mempercepat menopause puluhan tahun lebih awal.

Efeknya pun terasa: *hot flashes* hingga 20 kali sehari, insomnia, nyeri sendi, kekeringan vagina, dan perubahan suasana hati yang ekstrem.

*”Suatu hari aku depresi, besoknya gembira, lalu tiba-tiba mati rasa,”* tuturnya.

Meski begitu, Alexis tetap optimis.

*”Aku sadar, aku lebih kuat dari yang kukira. Ini mengajariku bahwa tidak ada batasan untuk apa yang bisa kulakukan,”* katanya. *”Kita sering berpikir akan muda dan sehat selamanya, tapi kenyataannya tidak demikian.”*

Previous post Lingkungan Kumuh Picu Cacingan? Ini Peringatan Serius dari Menkes!
Next post Ahli Parasitologi Ungkap Penyebab Fatal Kematian Akibat Cacingan yang Jarang Terjadi