
“MPR & Lembaga Adat Tanah Samawa Hadirkan Sarasehan Budaya Bale Ngaji yang Memukau”
MPR dan LATS Hadapi Krisis Moral dengan Kembali ke Akar Budaya
Di tengah gempuran perubahan sosial dan krisis nilai yang menggerus generasi muda, Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR) bersama Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) menggali kembali kearifan tradisi sebagai solusi. Langkah ini diwujudkan melalui sarasehan kebudayaan bertema *’MPR RI dan Gerakan Kebudayaan: Merajut Keindonesiaan, Menjawab Tantangan Zaman’*, yang digelar di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Bale Ngaji: Rumah Cahaya di Tengah Kegelapan Zaman
Kegiatan ini mengangkat *bale ngaji* sebagai simbol perlawanan terhadap dekadensi moral. Tak hanya dihadiri ratusan peserta dari kalangan pendidik, budayawan, dan tokoh adat, acara ini juga menampilkan Wakil Ketua Badan Anggaran MPR RI Johan Rosihan sebagai pembicara utama.
*”Bale ngaji adalah rumah cahaya. Di sana ada adab, penghormatan pada ilmu, ketundukan kepada guru, dan yang terpenting: ia menjadi tameng dari gelapnya zaman,”* tegas Johan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/7/2025).
Menurutnya, *bale ngaji* bukan sekadar tempat belajar mengaji, melainkan ruang pembentuk karakter dan etika sosial. Di dalamnya, anak-anak tidak hanya diajarkan ayat suci, tetapi juga adab kepada orang tua, sopan santun, serta rasa malu sebagai pengendali diri. Johan menyoroti kekhawatirannya atas kian longgarnya ikatan nilai di masyarakat, terutama di kalangan muda.
Budaya sebagai Tameng Ancaman Sosial
Johan menegaskan, *bale ngaji* bisa menjadi instrumen relevan untuk memperkuat karakter bangsa, khususnya dalam menghadapi ancaman seperti penyebaran narkoba yang mulai menyasar anak usia sekolah dasar. Di akhir sarasehan, ia mengajak semua pihak untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dan menjadikan kebudayaan sebagai alat strategis memperkuat identitas keindonesiaan.
*”Konstitusi sudah menegaskan negara wajib memajukan kebudayaan nasional. Sekarang, mari kita jadikan masyarakat sebagai pelaku utama gerakan kebudayaan yang beradab dan berkeadilan,”* ujarnya.
Falsafah Hidup Orang Samawa: Malu Spiritual sebagai Pedoman
Dalam sesi terpisah, Ketua Pejatu LATS Dr. Ihsan Syafitri menekankan pentingnya mengaktualisasikan falsafah hidup masyarakat Samawa, khususnya *Krik Selamat Tau Samawa*—konsep malu spiritual yang berlandaskan prinsip *’Kengila ko Nene, Katakit Boat Lenge’* (malu kepada Allah SWT, takut berbuat buruk).
*”Nilai ini bukan sekadar slogan, melainkan pedoman hidup. Jika generasi muda mengamalkannya, masa depan negeri ini tak perlu dikhawatirkan,”* tegas Ihsan.
Sakeco: Tradisi yang Hidup dan Bermakna
Sebagai penegasan bahwa tradisi bukan sekadar peninggalan masa lalu, dua siswi SMAN 3 Sumbawa Besar mempersembahkan *sakeco*, seni tutur khas Samawa yang memadukan puisi rakyat (*lawas-lawas*) dengan irama lokal. Alunan suara mereka yang penuh makna berhasil menyedot perhatian peserta, menghadirkan atmosfer yang jauh dari kesan formal.
*Sakeco* bukan sekadar pertunjukan, melainkan warisan budaya yang menyimpan memori kolektif masyarakat. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap tradisi, tersimpan kebijaksanaan yang mampu menjawab tantangan kekinian.
Komitmen Bersama untuk Kebudayaan
Sarasehan berlangsung dinamis dengan diskusi mendalam tentang nasib kebudayaan di era digital dan dominasi pasar. Di akhir acara, para pendidik dan tokoh adat sepakat mendorong revitalisasi *bale ngaji* sebagai ruang edukasi moral sekaligus benteng pertahanan sosial dari dalam masyarakat sendiri.