“China Vs AS: Pertarungan Utang Mematikan, Siapa yang Akan Runtuh Lebih Dulu?”

China dan AS: Dua Raksasa Ekonomi yang Berjuang Melawan Utang

China dan Amerika Serikat (AS) sama-sama memegang gelar sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Namun, keduanya kini menghadapi tantangan serupa: utang yang terus menumpuk. Meski begitu, China dinilai lebih unggul dalam mengelola krisis utangnya dibandingkan AS.

Utang Tersembunyi China: Bom Waktu yang Perlahan Dinormalisasi

Utang China sebagian besar berasal dari pemerintah daerah yang tidak tercatat secara resmi. Masalah ini dianggap seperti bom waktu yang berpotensi memicu gagal bayar jika tidak ditangani. Sejak 2018, pemerintah China telah berupaya mengendalikan utang-utang tersembunyi ini. Kementerian Keuangan China bahkan memberi target lima hingga sepuluh tahun bagi pemerintah daerah untuk membersihkan utang tersebut.

Hasilnya mulai terlihat. Pada 2022, dilaporkan bahwa utang tersembunyi telah berkurang lebih dari sepertiga dalam lima tahun. Bahkan, 12 provinsi dengan beban utang terberat berhasil merestrukturisasi utang mereka dalam waktu dua tahun. Hingga akhir 2023, Kementerian Keuangan China mengidentifikasi utang pemerintah daerah yang tidak tercatat mencapai 14,3 triliun yuan, sebagian besar berasal dari instrumen pembiayaan daerah (LGFV).

“Setelah bertahun-tahun berupaya, risiko utang pemerintah daerah di China secara keseluruhan telah terkendali dan perlahan teratasi,” ujar Zhao Xijun, profesor keuangan dari Universitas Renmin China.

Ia menambahkan, karena mayoritas utang dipegang oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat memiliki ruang untuk turun tangan membantu pembayaran. Salah satu strategi yang dilakukan adalah program pertukaran utang (debt swap) senilai 12 triliun yuan (US$ 1,67 triliun) pada akhir 2024. Program ini memungkinkan pemerintah daerah memperpanjang masa pembayaran utang, dengan rata-rata jatuh tempo obligasi yang diperpanjang menjadi 15,88 tahun pada paruh pertama 2025.

AS: Ketergantungan pada Perpanjangan Utang yang Kian Berisiko

Sementara itu, AS juga berjuang melawan utang yang terus membengkak. Namun, berbeda dengan China, AS sangat bergantung pada perpanjangan pembayaran utang—sebuah strategi yang justru dinilai memperburuk risiko gagal bayar.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang pemerintah AS terhadap PDB diperkirakan mencapai 122,46% pada 2025, jauh lebih tinggi dibandingkan China yang hanya 96,31%. Kekhawatiran semakin meningkat setelah Presiden Donald Trump menaikkan pagu utang sebesar US$ 5 triliun, yang disebut-sebut bisa memicu “bom utang”.

Utang AS terkonsentrasi di tingkat federal, dan pemerintah hanya bisa memperpanjang kewajibannya dengan menerbitkan utang baru atau meningkatkan pendapatan. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi AS yang melambat membuat upaya meningkatkan pendapatan semakin sulit.

“Ekonomi yang melambat menyulitkan peningkatan pendapatan, sehingga AS sangat bergantung pada perpanjangan utang. Ini justru menambah beban dan risiko gagal bayar,” jelas Zhao Xijun.

Tarif Impor AS: Strategi Cari Dana Bayar Utang?

Salah satu cara AS mencari sumber pendapatan tambahan adalah dengan mengenakan tarif impor pada puluhan mitra dagangnya. Langkah ini dinilai sebagai upaya memindahkan beban ke negara lain, sekaligus mengalirkan dana langsung ke Kementerian Keuangan AS untuk membayar utang.

“AS kini berusaha mencari pendapatan eksternal, seperti mengenakan tarif tambahan atau memungut ‘biaya perlindungan’,” tambah Zhao.

Dengan kondisi ini, kedua raksasa ekonomi dunia terus berjibaku mencari solusi terbaik untuk mengelola utang mereka—meski dengan pendekatan yang berbeda.

Previous post “Warga Ayuka & Tipuka Semarakkan HUT ke-80 RI dengan Lomba Tari Seka yang Seru!”
Next post “Guncangan Ekonomi: 40 Ribu Pekerjaan Lenyap dalam Sekejap, Ini Dampaknya!”