
“Dualitas Abolisi dan Amnesti: Dampak & Kontroversi yang Mengubah Hukum”
Presiden Terbitkan Keputusan Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti untuk 1.116 Terpidana, Termasuk Hasto Kristiyanto
Sebuah surat dari Presiden kepada DPR pada 30 Juli 2025 menjadi awal mula keputusan penting ini. Surat tersebut meminta pertimbangan terkait rencana pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti bagi 1.116 terpidana, salah satunya adalah Hasto Kristiyanto. DPR pun dengan cepat merespons dan memberikan masukan, yang kemudian diikuti dengan penerbitan dua keputusan presiden: Keppres No. 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi dan Keppres No. 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti.
Meski tidak mencantumkan alasan secara rinci dalam pertimbangan hukumnya, pemerintah melalui pernyataan Menteri Hukum dan HAM menjelaskan bahwa langkah ini diambil demi menjaga stabilitas politik dan persatuan nasional. Namun, penjelasan yang bersifat politis ini justru memicu perdebatan.
Reaksi publik pun terbelah. Sebagian menolak karena menganggap korupsi, sekecil apa pun, tidak layak mendapat pengampunan negara. Sementara itu, ada juga yang mendukung, terutama dalam kasus Tom Lembong, karena proses hukum terhadapnya dinilai bermasalah dan merusak rasa keadilan.
Dalam Putusan PN Jakarta Pusat No. 34/Pid.Sus-TPK/2025, Tom Lembong dinyatakan tidak memiliki *mens rea* (niat jahat) dan tidak memperoleh keuntungan dari kasus korupsi yang menjeratnya. Fakta inilah yang memunculkan simpati luas dari masyarakat sipil.
Abolisi dan Amnesti di Indonesia
Dalam hukum tata negara, abolisi dan amnesti adalah dua bentuk pengampunan presiden dengan konsekuensi berbeda. Amnesti bersifat menyeluruh—menghapus semua akibat hukum pidana sehingga penerimanya dianggap tak pernah melakukan tindak pidana. Ini diatur dalam Pasal 4 UU Darurat No. 11 Tahun 1954.
Sementara itu, abolisi lebih terbatas—hanya menghentikan proses hukum tanpa menghapus status pidana terdakwa. Meski begitu, penerimanya tetap terlindungi dari tuntutan ulang atas kasus yang sama, sesuai prinsip *ne bis in idem* dalam Pasal 366 HIR.
Sejarah Indonesia mencatat setidaknya 11 Keputusan Presiden tentang abolisi atau amnesti, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori:
1. Rekonsiliasi Nasional – Seperti pengampunan untuk eks-pemberontak yang kembali ke NKRI (contoh: Keppres No. 303/1959 untuk Kahar Muzakkar, Keppres No. 22/2005 untuk GAM).
2. Transisi Demokrasi – Digunakan pasca-Reformasi untuk koreksi kriminalisasi masa lalu (contoh: Keppres No. 80/1998 dan No. 91/2000).
3. Keadilan Restoratif – Respons atas ketidakadilan hukum yang mendapat simpati publik, seperti kasus Baiq Nuril (Keppres No. 24/2019).
Pemberian abolisi dan amnesti harus memenuhi syarat Pasal 1 UU Darurat No. 11/1954, yaitu demi kepentingan negara. Namun, aspek politik tak bisa diabaikan. Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa amnesti dan abolisi memerlukan pertimbangan DPR, bukan Mahkamah Agung—berbeda dengan grasi dan rehabilitasi yang melibatkan pertimbangan yudisial.
Abolisi dan Amnesti dalam Perkara Korupsi
Inilah yang memicu kontroversi: abolisi dan amnesti kali ini diberikan untuk kasus korupsi, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Satu-satunya preseden mirip adalah grasi dari Presiden SBY kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hassan Rais (2010), tetapi grasi bersifat yudisial, bukan politis seperti abolisi/amnesti.
Kecurigaan politik menguat ketika pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto bertepatan dengan dukungan PDIP kepada pemerintahan Prabowo-Gibran—padahal sebelumnya partai itu menyatakan tak akan bergabung. Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2024) juga menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik, sehingga langkah ini dianggap mengabaikan prinsip akuntabilitas.
Pemerintah perlu memberikan penjelasan transparan. Tanpa itu, kepercayaan publik—terutama dalam agenda pemberantasan korupsi—bisa semakin merosot. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang stagnan menjadi tantangan tersendiri.
Di sisi lain, keputusan abolisi untuk Tom Lembong patut diapresiasi sebagai bentuk keberanian presiden dalam menegakkan keadilan restoratif. Namun, untuk amnesti Hasto Kristiyanto, pemerintah harus lebih hati-hati. Tanpa dasar yang jelas, langkah ini bisa dianggap sebagai transaksi politik, bukan kebijakan negara.
Zuhad Aji Firmantoro
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia dan Pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios).