Investor Bangun Ratusan Vila di Pulau Padar: Ancaman atau Peluang bagi Komodo?

Pembangunan Vila dan Fasilitas Wisata di Pulau Padar: Bagaimana Nasib Komodo?

Investor bersiap membangun ratusan vila dan sarana wisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) akan mengembangkan 619 unit fasilitas, termasuk 448 vila, restoran, spa, hingga kapel pernikahan. Namun, proyek ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap habitat komodo, hewan purba yang dilindungi.

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang disusun tim ahli dari IPB mengungkap bahwa pembangunan ini berpotensi mengganggu kehidupan komodo. Habitat utama mereka di lembah-lembah Pulau Padar, tempat mereka mencari makan di savana dan hutan bakau, akan bersinggungan dengan lokasi pembangunan.

Dampak Pembangunan terhadap Komodo

Tim ahli mengidentifikasi tiga risiko utama:
1. Gangguan Pergerakan Komodo – Pembangunan di lembah dapat memaksa komodo menjauh dari habitat alaminya.
2. Gangguan Aktivitas Alami – Kehadiran pekerja dan aktivitas konstruksi berisiko mengganggu kebiasaan komodo, seperti bersarang dan mencari makan.
3. Ketergantungan pada Limbah – Sisa makanan dari dapur wisata dapat membuat komodo terbiasa mencari makan di area pembuangan, mengubah pola alaminya.

Rekomendasi Mitigasi dari Tim Ahli

Untuk meminimalkan dampak, tim ahli memberikan sejumlah rekomendasi, antara lain:
– Membangun fasilitas dengan sistem panggung (elevated) untuk mengurangi gangguan fisik.
– Menyusun prosedur operasional (SOP) bagi pekerja dalam menghadapi satwa liar.
– Memasang papan peringatan tentang keberadaan komodo dan ular berbisa.
– Membangun sistem pengelolaan limbah makanan yang aman agar tidak menarik perhatian satwa.
– Pemantauan rutin terhadap populasi komodo dan sarangnya, bekerja sama dengan Taman Nasional Komodo.

Respons Taman Nasional Komodo

Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Hendrikus Rani Siga, mengonfirmasi bahwa pembangunan akan mempertimbangkan keberadaan komodo. “Komodo tidak mengenal zonasi, mereka bisa masuk ke mana saja, bahkan ke permukiman,” ujarnya.

Hengki, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa pembangunan di kawasan warisan dunia UNESCO ini harus memenuhi standar ketat. Tujuannya, agar tidak merusak ekosistem, satwa dilindungi, maupun daya tarik wisata kawasan.

PT KWE telah memperoleh izin operasi selama 55 tahun (2014–2069) dari Kementerian Kehutanan untuk mengelola 274,13 hektar (19,5% luas Pulau Padar). Namun, pembangunan fisik hanya akan mencakup 15,75 hektar (5,64% dari izin) guna meminimalkan gangguan terhadap lingkungan.

Artikel ini sebelumnya tayang di detikBali.

Previous post Mayday, Mayday! Mesin Pesawat Rusak di Tengah Penerbangan
Next post Dubaraikan 10 Juta Wisatawan di Semester Pertama 2025, Dubai Makin Memikat!