
“Kemenkeu Optimis Tarif Baru AS Pacu Pertumbuhan Ekonomi RI Lewati 5%”
Pemerintah Indonesia menyambut positif keputusan Amerika Serikat (AS) yang memangkas tarif impor untuk produk-produk Tanah Air dari 32% menjadi 19%. Kebijakan ini dinilai akan menjadi pendorong signifikan bagi sektor manufaktur dalam negeri sekaligus mengerek pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5% pada semester kedua 2025.
Dampak Positif bagi Ekspor Manufaktur
Febrio Nathan Kacaribu, Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif baru ini akan memperkuat kontribusi ekspor manufaktur sebagai tulang punggung PDB Indonesia. “Hasil negosiasi perdagangan ini memberikan dampak positif yang nyata bagi aktivitas industri manufaktur kita,” jelas Febrio saat berbicara di Kompleks Parlemen, Jakarta (24/7/2025).
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Kementerian Keuangan menilai insentif tarif ini muncul di saat tepat untuk memulihkan laju ekonomi nasional yang sempat menunjukkan perlambatan. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprediksi pertumbuhan Indonesia tahun ini hanya mencapai 4,7%. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan kuartal I-2025 sebesar 4,87%, turun dibandingkan periode kuartal IV-2024 (5,02%) dan kuartal I-2024 (5,11%).
“Dengan tarif yang lebih kompetitif ini, kami optimistis pertumbuhan ekonomi dapat bangkit kembali melampaui 5% pada paruh kedua tahun depan,” tegas Febrio.
Pertimbangan dalam Penyusunan RAPBN 2026
Febrio mengonfirmasi bahwa kebijakan tarif AS ini telah dimasukkan sebagai salah satu asumsi makroekonomi dalam penyusunan Rancangan APBN 2026 yang sedang dibahas bersama DPR. “Setiap kebijakan yang berdampak signifikan pasti kami pertimbangkan dan masukkan dalam berbagai skenario perencanaan,” ujarnya.
Respons Pasar Obligasi
Sementara itu, Kemenkeu tetap waspada terhadap potensi kenaikan imbal hasil obligasi global jika The Federal Reserve mempertahankan suku bunga tinggi. Namun faktanya, yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia justru menunjukkan tren penurunan dan semakin menarik minat investor.
“Yield SBN kita telah turun dari sekitar 7,0% di awal tahun menjadi 6,4-6,5% saat ini. Ini menjadikan instrumen kita sebagai salah satu yang berkinerja terbaik di kalangan negara berkembang. Kami akan memanfaatkan momentum ini sebaik-baiknya,” pungkas Febrio.