
“Keponakan Prabowo Tolak Pembangunan 100+ Vila di Pulau Padar: Kontroversi Menggema!”
Pembangunan Vila di Pulau Padar Ditolak, DPR Khawatirkan Dampak ke Masyarakat Lokal
Rahayu Saraswati, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menegaskan penolakannya terhadap rencana pembangunan ratusan vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Menurutnya, proyek tersebut berpotensi mengganggu kehidupan warga setempat, meskipun sektor pariwisata Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Pembangunan Pariwisata Harus Perhatikan Lingkungan dan Masyarakat
Rahayu, yang juga merupakan keponakan Presiden Prabowo, menekankan bahwa pengembangan fasilitas wisata sebaiknya difokuskan di sekitar Labuan Bajo, bukan di Pulau Padar. Ia telah menyampaikan kekhawatiran ini kepada Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana. Meskipun izin pembangunan telah dikeluarkan beberapa tahun lalu, Rahayu mendorong agar dilakukan kajian ulang untuk memastikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Pariwisata harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung pada warga setempat, sekaligus menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara,” ujarnya. Ia juga meminta agar pemerintah daerah, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pariwisata bekerja sama meninjau kembali proyek ini untuk mencapai kesepakatan bersama.
PHRI dan Asosiasi Pariwisata Juga Menentang
Penolakan tidak hanya datang dari DPR. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Manggarai Barat turut menentang rencana pembangunan ratusan vila, restoran, dan spa di Pulau Padar. Menurut Ketua PHRI Manggarai Barat, Silvester Wanggel, keberadaan fasilitas baru di kawasan inti Taman Nasional Komodo akan menurunkan tingkat hunian hotel di Labuan Bajo dan mengurangi aktivitas transportasi wisata laut.
Rincian Proyek Kontroversial
PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) berencana membangun 619 unit fasilitas wisata di Pulau Padar, termasuk 448 vila, restoran, gym, spa, dan kapel pernikahan. Perusahaan ini telah memperoleh izin pengelolaan selama 55 tahun sejak 2014, mencakup area seluas 274,13 hektare atau 19,5% dari total luas Pulau Padar. Namun, proyek ini terus menuai penolakan dari berbagai pihak yang mengkhawatirkan dampak ekologis dan sosialnya.