Kisah Heroik Perjuangan, Toleransi, dan Kemanusiaan yang Menginspirasi

Cianjur –
Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, sebuah rumah berwarna hijau berdiri kokoh di Jalan Moch Ali No. 64, Cianjur. Bangunan yang menjorok sekitar 10 meter dari jalan raya ini telah berusia hampir 150 tahun, menyimpan segudang cerita sejarah. Dibangun pada 1886, rumah ini dulunya adalah kediaman Bupati Cianjur ke-10, RAA Prawiradiredja II, yang memerintah dari 1864 hingga 1910. Sejak 2010, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menetapkannya sebagai Benda Cagar Budaya Nasional.

Saksi Bisu Perjuangan PETA
Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II, mengungkapkan bahwa rumah ini pernah menjadi markas pergerakan PETA (Pembela Tanah Air) saat pendudukan Jepang. “Tokoh-tokoh seperti Gatot Mangkoepraja dan Raden Ayu Tjitjih Wiarsih, putri Prawiradiredja II, terlibat aktif di sini,” jelasnya saat menerima kunjungan Komunitas Japas Bogor pada Rabu (20/8/2025).

Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025).Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025). Foto: Sudrajat

Tempat Perlindungan di Masa Kelam
Tahun 1963, rumah yang dikenal sebagai Bumi Ageung Cikidang ini menjadi tempat berlindung ratusan warga Tionghoa. Saat itu, kerusuhan melanda sejumlah daerah, termasuk Cianjur, setelah insiden di Institut Teknologi Bandung. Fajar menceritakan, meski tidak ada kekerasan langsung terhadap warga Tionghoa, ketakutan membuat mereka memilih mengungsi di rumah ini. “Barang-barang di Pecinan dibakar, tapi tidak ada penjarahan atau kekerasan,” ujarnya.

Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025).Potret Prawiradiredja II Foto: Sudrajat

Rumah Kemanusiaan dan Pengobatan Murah
Sebelum dikenal sebagai Bumi Ageung Cikidang, warga setempat menyebutnya Rumah Dokter Toki Syamsudin. Di sini, masyarakat bisa berobat dengan biaya seikhlasnya. “Kakek saya tidak pernah menetapkan tarif, ini benar-benar rumah kemanusiaan,” kata Fajar.

Arsitektur Unik dengan Material Lokal
Rumah seluas 510 m² ini didominasi kayu Rasamala, yang tahan rayap meski kualitasnya di bawah jati. Dinding dalam terbuat dari anyaman pohon kajang, sementara langit-langitnya memakai bilik bambu. Jendela dan pintu setinggi tiga meter dengan ventilasi krepyak khas Belanda, serta lantai bermotif batik, menambah kesan klasik.

Sebelum mengunjungi Bumi Ageung Cikidang, rombongan detikTravel dan Komunitas Japas sempat menjelajahi tempat bersejarah lain seperti Pabrik Tauco Cap Meong, Pabrik Roti Tan Keng Cu, dan Istana Cipanas.

Previous post Museum Satria Mandala Berubah Total dengan Ruang Imersif Setelah Revitalisasi
Next post Pengalaman Seru yang Tak Terlupakan