
Kisah Inspiratif Tidjah, Perempuan Madura Peraih Bintang Jasa dari Belanda
Jakarta –
Tidjah adalah sosok yang tak biasa dari Madura. Perempuan ini tercatat dalam sejarah setelah menerima medali kehormatan dari Belanda atas kontribusinya dalam Barisan Tjakra. Namun, keterlibatannya bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan lebih pada persoalan ekonomi.
Selama agresi militer Belanda di akhir 1940-an, Tidjah berperan mendukung pasukan kolonial hingga dianugerahi *Kruis van Verdienste*, sebuah bintang perunggu yang diberikan sebagai tanda kesetiaan dan jasa. Saat itu, ia tergabung dalam Barisan Tjakra—satuan bentukan Belanda di Surabaya sekitar 1946. Kelompok ini beranggotakan sekitar 440 orang, kebanyakan pria Madura, yang bertugas mendukung operasi militer Belanda di berbagai wilayah, termasuk Madura.
Peran Vital di Belakang Layar
Menurut Kuncarsono Prasetyo, pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia, Tidjah tidak terjun langsung di garis depan. Namun, perannya tetap krusial sebagai penyuplai amunisi untuk pasukan Belanda.
*”Dia bukan barisan inti, tapi dia supporting. Itulah kemudian dia mendapat penghargaan dari Belanda. Dia ada di pihak Belanda,”* jelas Kuncar, seperti dilaporkan detikjatim, Selasa (26/8/2025).
Meski membantu Belanda, Kuncar menegaskan bahwa Tidjah dan rekan-rekannya di Barisan Tjakra tidak bisa serta-merta dianggap pengkhana.
*”(Perannya) sampai tahun 1948-1949, dia ikut di semua pertempuran. Saat itu, wilayah Indonesia yang dikuasai Belanda hanya sebagian Jawa. Tidak semua pasukan Belanda orang Eropa, banyak juga pribumi yang terlibat,”* ujarnya.
Fenomena Tentara Bayaran dalam Sejarah Kolonial
Kuncar menjelaskan, keterlibatan orang Madura dalam pasukan Belanda bukan hal baru. Sebelum era Jepang, sudah banyak tokoh dan tentara bayaran asal Madura yang terlibat dalam operasi keamanan kolonial.
*”Sejak dulu, banyak pasukan dari berbagai daerah Nusantara yang ikut dalam konflik yang didalangi kekuatan asing, seperti Ambon, Minahasa, hingga Solo. Bahkan dalam penaklukan Aceh, pasukannya juga berasal dari berbagai daerah,”* paparnya.
Menurutnya, motif Tidjah dan rekan-rekannya lebih didorong oleh faktor ekonomi, bukan politik atau nasionalisme.
*”Ini urusan ekonomi. Mereka adalah tentara bayaran profesional yang dibayar untuk bertempur. Fenomena serupa juga terjadi di banyak negara, seperti pasukan Gurkha dari Nepal yang direkrut Inggris,”* jelas Kuncar.
Nasib Setelah Kemerdekaan
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan pengakuan kedaulatan Indonesia, Tidjah dan anggota Barisan Tjakra lainnya mendapatkan pengampunan sebagai bagian dari kebijakan rekonsiliasi.
*”Salah satu hasil KMB adalah pengampunan. Baik orang Belanda maupun warga Indonesia yang mendukung mereka, semuanya diberi amnesti,”* kata Kuncar.
Berbeda dengan ribuan mantan tentara KNIL asal Ambon yang memilih bermigrasi ke Belanda, nasib Tidjah dan kawan-kawannya tidak terdokumentasi dengan jelas.
*”Tergantung pilihan politik. Ada yang memilih tinggal, ada juga yang mengungsi ke Belanda, seperti para mantan perwira KNIL,”* tambahnya.
*
*Selengkapnya klik di sini.*