Kisah Unik di Balik Kearifan Lokal Pasaran Pon Kalender Jawa

Pasar Dadakan Cokro Daleman: Di Balik Dentuman Palu dan Tarian Bara Api

Setiap Pasaran Pon dalam kalender Jawa, jalanan di Cokro Daleman, Tulung, berubah menjadi panggung ekonomi yang ramai. Gerobak, tikar plastik, dan meja kayu berjejer di tepi jalan, menciptakan suasana pasar dadakan yang penuh warna. Aroma kuliner tradisional memenuhi udara, sementara lapak barang bekas berdampingan dengan alat pertanian, membentuk mosaik kehidupan warga setempat.

Di tengah keramaian itu, sorot mata pengunjung sering tertuju pada lapak sederhana milik Pak Bagong. Di sana, dentuman palu dan percikan api menjadi pertunjukan alamiah yang memikat. Lebih dari 30 tahun, pria ini melanjutkan tradisi tempa logam warisan keluarganya, menjadi salah satu penjaga denyut nadi budaya di sentra pandai besi Koripan, Delanggu.

Proses Tempa yang Menyimpan Kearifan

Besi tua dipanaskan dalam tungku hingga membara, lalu ditempa berulang kali di atas landasan. Setiap pukulan palu membentuk logam menjadi arit, pisau cekung, atau pisau dapur. Setelah didinginkan, bilah diasah dengan batu tradisional hingga tajam. Gagang kayu jati atau mahoni yang telah disesuaikan dengan genggaman tangan pun dipasang, menyempurnakan fungsi dan keindahannya.

Beragam produk terpajang rapi di bengkel Pak Bagong, mulai dari arit untuk memotong tebu hingga pisau ukir yang menjadi koleksi seni. Harganya bervariasi, tergantung ukuran, jenis bilah, dan kerumitan ukiran. Setiap bilah bukan sekadar alat, melainkan cerita yang bisa diturunkan ke generasi berikutnya.

Dampak Ekonomi dan Pelestarian Budaya

Usaha tempa Pak Bagong tak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian lokal. Uang dari penjualan alat-alat tersebut berputar di warung makan, toko kelontong, hingga lahan pertanian warga. Pesanan khusus terus berdatangan, menjaga tradisi pandai besi tetap hidup.

Heru Budi Santosa, Kepala Desa Tjokro, mengapresiasi lapak tempa ini sebagai bentuk pelestarian budaya. *”Arit dan pisau buatan tangan ini adalah penghubung antara pembuat, pengguna, dan sejarah Koripan Delanggu,”* ujarnya. Ia menekankan pentingnya mengintegrasikan kerajinan tradisional dengan pariwisata desa untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Ipunk, seorang pemandu wisata, terkesan dengan proses tempa yang sederhana. Ia berencana memesan arit untuk keperluan gotong royong di kampungnya. Sementara Heru menambahkan, alat tempa tangan lebih awet dan nyaman digunakan dibanding produk pabrik.

Menjaga Warisan untuk Masa Depan

Heru juga menyoroti perlunya pelatihan bagi generasi muda, festival kerajinan, serta promosi digital untuk mendokumentasikan kearifan lokal. Bagi yang melintas dari Cokro menuju Taman Banyu Gemblindhing atau Umbul Ponggok, sempatkan mampir ke lapak Pak Bagong di Jalan Ngentak, Karanglo.

Nikmati wedang jahe hangat di angkringan Sardot sambil menyaksikan tarian bara api dan dentuman palu. Pesan bilah dengan desain khusus, atau sekadar berbincang dengan sang empu besi. Dukungan melalui pembelian, rekomendasi di media sosial, atau partisipasi dalam acara desa turut melestarikan warisan ini.

Semoga bunyi palu Pak Bagong terus bergema setiap Pasaran Pon, mengingatkan kita pada keindahan tradisi yang sederhana namun penuh makna. Pasar Cokro Daleman bukan hanya tentang jual-beli, melainkan juga panggung bagi budaya dan ekonomi kerakyatan.

*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikTravel, Pitut Saputra. Traveler yang punya cerita menarik saat traveling, bisa langsung berbagi di sini.*

Previous post Pilot Maskapai Dipecat dan Diadili Gara-gara Hobi Nguntit yang Mengganggu
Next post “Bandara Dubai Gunakan AI untuk Pengecekan Bagasi Lebih Cepat dan Efisien”