
Warung Nasi dengan Omzet Rp 25 Juta per Hari Akhirnya Gulung Tikar, Ini Penyebabnya
Jakarta –
Menjalankan bisnis kuliner tak selalu berbanding lurus dengan pendapatan harian yang besar. Seperti kisah sebuah warung nasi populer yang akhirnya terpaksa gulung tikarpadatelah meraih kesuksesan dalam hal popularitas.
Belakangan, banyak pelaku usaha kuliner yang memilih menutup gerai mereka akibat berbagai tantangan, mulai dari tekanan ekonomi, biaya operasional yang membengkak, hingga sewa tempat yang tak terjangkau. Popularitas ternyata tak cukup menjadi tameng untuk bertahan, sebagaimana dialami oleh OK Chicken Rice dan Humfull Laksa di Edgedale Plains, Punggol, Singapura.
Melalui unggahan di Facebook pada 10 Agustus lalu, pemilik warung, Daniel Tan, mengumumkan keputusan penutupan meskipun bisnisnya mendapat respons positif dari pelanggan. Warung tersebut bahkan meraih rating 4,7 bintang di Google Review, menunjukkan tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi.
Namun, Tan mengungkapkan bahwa sejumlah faktor operasional menjadi penghalang. Menjaga kualitas makanan sekaligus memastikan kecepatan layanan menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, biaya sewa dan upah karyawan yang tinggi turut membebani keuangan bisnisnya.
Pengumuman penutupan warung nasi ini menuai perhatian. Foto: Instagram @okchickenrice and @humfullprawnlaksa
Meski warung ini mencatat pendapatan harian rata-rata SGD 2.000 (sekitar Rp 25 juta), angka tersebut ternyata belum cukup menutupi biaya operasional. Tan mengungkapkan, setelah dikurangi berbagai pengeluaran, gerainya justru mengalami kerugian SGD 1.000 (Rp 12,6 juta) hingga SGD 3.000 (Rp 37,9 juta) per bulan, seperti dilaporkan theonlinecitizen.com pada 15 Agustus 2025.
Biaya terbesar berasal dari sewa tempat dan gaji karyawan. Meski begitu, Tan memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja. Staf akan dialihkan ke gerai lain miliknya di 309C Punggol Walk.
Ramai pembeli tak menjamin keuntungan jika biaya operasional terlalu tinggi. Foto: Sethui.com / Aaron Tan
Kasus ini kembali menyoroti persoalan biaya sewa yang melambung di Singapura, yang kerap menjadi momok bagi pelaku usaha kuliner. Pada Mei lalu, seorang konsultan profesional sempat mengangkat isu ini di Facebook, menyoroti bagaimana kenaikan sewa memicu diskusi tentang ketimpangan sosial dan dampaknya terhadap pedagang kecil.
Fenomena ini bahkan disebutkan telah menyebabkan lebih dari 300 gerai F&B tutup setiap bulannya sepanjang tahun 2025.